Video dari Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka (Wapres Gibran) yang berjudul, “Generasi Muda, Bonus Demografi dan Masa Depan Indonesia” diluncurkan di youtube, beberapa hari yang lalu. Reaksi di sosial media cukup beragam, to say the least.
Istilah ‘Bonus Demografi’ mungkin terdengar aneh, dan bagi sebagian bisa jadi memahaminya sebagai hadiah atau berkah; namun Wakil Presiden Gibran bukanlah yang pertama kali menggunakannya. Istilah Bonus Demografi atau demographic dividend telah ada sejak tahun 2003 dan diciptakan pertama kali oleh David E. Bloom. Ekonom dan Demographer dari USA itu mengkritik debat mengenai pengaruh perubahan kependudukan pada pertumbuhan ekonomi yang hanya memfokuskan pada besar kecilnya populasi dan pertumbuhan populasi, namun tidak memberi perhatian yang cukup pada poin yang kritis: umur kependudukan (dalam artian, bagaimana populasi tersebut tersebar di kelompok umur yang berbeda), yang dapat berubah secara dramatik sehubungan dengan perubahan pada tingkat kelahiran dan kematian[1].
Lalu darimana istilah bonus atau dividen tersebut berasal dan apa hubungannya dengan kependudukan?
Pertama, apakah dividend/bonus itu? Dividen adalah persentase dari pendapatan perusahaan yang dibayarkan kepada pemegang sahamnya sebagai bagian dari keuntungan mereka.[2]
Sedangkan kata yang kedua, demography berasal dari kata Yunani, dêmos (penduduk, masyarakat) dan grafia (tulisan, gambar, deskripsi) adalah studi tentang penduduk yang dilihat dari ukuran (jumlah), struktur/komposisi, persebaran ke ruangan serta faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah, struktur dan persebaran penduduk yaitu fertilitas, mortalitas dan migrasi di suatu wilayah tertentu.[3]
Mengikuti pemahaman tersebut, kependudukan akan dibagi menjadi dua: usia produktif dan usia non-produktif. Usia non-produktif terdiri dari dua kelompok usia: anak-anak (0-14) dan ‘lanjut usia’ (66 keatas); sedangkan usia produktif untuk kelompok penduduk usia 15 – 65 keatas.
Dinamakan usia non-produktif karena kelompok usia ini belum atau tidak lagi menghasilkan barang atau jasa untuk masyarakat, dan lebih banyak mengkonsumsi sumber daya alam ataupun produksi. Sedangkan kelompok usia produktif adalah mereka yang menghasilkan barang dan jasa untuk masyarakat.
Bonus demografi itu akan terjadi jika jumlah penduduk berusia non-produktif (0-14 dan 65 keatas) lebih kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk produktif. Sehingga barang dan jasa yang dihasilkan akan ada ‘sisa’ dan dapat diinvestasikan kembali untuk memperbaiki atau meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Pengertian tersebut memang seakan-akan memperlakukan penduduk hanya sebagai pelaku ekonomi (atau dalam tradisi marxismus: alat produksi). Jika kita melihat penduduk sebagai alat produksi, maka sebagaimana lazimnya, kita harus memastikan bahwa alat produksi tersebut terawat dengan baik, terupdate dan terupgrade agar produksi akan terus berjalan dan bahkan tidak menjadi beban. Jika perlu, kita harus menciptakan inovasi-inovasi baru agar alat produksi tersebut tidak ketinggalan jaman.
Apa jadinya jika kita tidak siap?
Untuk memberi sedikit gambaran, populasi Indonesia tahun 2024 diestimasi tercatat 281,562,465, dengan komposisi :
Kelompok Umur |
Percent |
laki-laki |
perempuan |
|
|
140,800,047 |
140,762,418 |
0-14 |
23.8% |
34,247,218 |
32,701,367 |
15-64 |
68.3% |
96,268,201 |
95,961,293) |
65 tahun ke atas |
8% |
10,284,628 |
12,099,758 |
Sumber: The World Fact Book[4]
Dari komposisi tersebut, sudahlah jelas kita akan menghadapi ‘bonus demografi’ di lima tahun mendatang dan mungkin untuk satu atau dua dekade mendatang.
Demography adalah sistem yang komplex, sebagaimana manusia itu sendiri. Ketidaksiapan kita dalam mempersiapkan kelompok usia produksi akan banyak menciptakan masalah, bukan hanya dalam permasalahan ekonomi, namun juga kesehatan, keamanan dan sosial politik.
Seperti dicontohkan dalam video Wapres Gibran, Indonesia mempunyai banyak potensi yang siap dan harus dikembangkan. Apakah kita mampu melakukannya?
Sangat disayangkan, pembicaraan yang lantang di media maupun di sosial media hanyalah mengenai video itu sendiri dan mengenai Wapres Gibran sebagai pribadi. Bonus demografi ini adalah permasalahan besar yang membutuhkan kerjasama dari kita semua. Mengingat negara kita adalah negara besar dengan kemajemukan wilayah budaya dan kepercayaan, bonus demografi itu hanya akan menjadi beban jika kita tidak mempersiapkan sarana dan prasarananya sedini mungkin. Oleh karena itu kita membutuhkan orang-orang yang berkompentensi di bidangnya untuk lebih bersuara dalam hal ini, dan memberikan sosialisasi terhadap tantangan dan resiko yang akan kita hadapi.
Karena siapapun yang akan memimpin negara kita di lima tahun mendatang akan menghadapi tantangan yang sama.
Rasanya kita sudah cukup dewasa untuk tidak menghiraukan berapa likes dan dislikes yang diterima oleh seorang content creator, atau apakah lighting dan cara bicara pembicara dalam video tersebut menarik atau tidak. Karena diakui atau tidak, ini bukan kompetisi untuk memenangkan lomba video terbaik di youtube, ini soal masa depan bangsa.
Satu kritik untuk isi video, dari contoh-contoh potensi yang bangsa kita miliki, saya melihat kekurangan sorotan terhadap sektor agrikultural dan perikanan. Diharapkan, di video-video yang akan datang pemerintah, dalam hal ini Wapres Gibran, dapat memberikan perhatian yang lebih banyak terhadap dua sektor ini.
Ken Savitri.
[1] Bloom, David
E; Canning, David; Sevilla, Jaypee, “The demographic dividend : a new
perspective on the economic
consequences of population change”,Rand, 2003, xi
[2]Hayes,
Adam; “Dividend: Definition in Stock and How Payment Works”, Investopedia,
07.07. 2024
[3]Sonny
Harry B. Harmadi, ph.D, “Pengantar Demografi: Modul Satu”,1.3
[4]https://www.cia.gov/the-world-factbook/countries/indonesia/
Komentar0