Setelah ORBA tumbang, bangsa kita terkesan berpestapora menikmati kebebasan. Nyaris tak ada batas ataupun kriteria yang bisa membatasi kebebasan dimaksud. Hampir semua pengkritik berlindung di balik kebebasan berekspresi sebagaimana dinyatakan dalam pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Ayat ini menyatakan bahwa "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat."
Tentu kita semua wajib menghormatinya. Walaupun demikian kita harus jujur mengatakan bahwa ketiadaan standard wajar dalam mengkritik, mengakibatkan kritikan tidak konstruktif. Bahkan sering menimbulkan kerugian significant ketika ekspresi tersebut diunjukkan dengan pengerahan massa.
Kini kontent medsos didominasi oleh opini-opini yang diatasnamakan sebagai kritik. Bahkan beberapa mainstream pun menggelar acara talksow dengan kontent serupa.
Masyarakatpun jadi bingung ; mana yang patut jadi rujukan.
Bisa jadi, kelak ketika bidang ekonomi kita sudah mencapai level Negara Maju, peradaban bangsa belum sanggup menyesuaikannya. Dan unsur ini bisa menjadi akar masalah kesenjangan sosial.
Terkait realita dimaksud, alangkah baiknya jika kita menyepakati azas Actori In Cumbit Probatio dalam mengkritik.
Ini adalah asas dalam hukum acara perdata yang secara harfiah berarti siapa yang menggugat dialah yang wajib membuktikan. Asas ini secara eksplisit diatur dalam Pasal 163 HIR/283 RBg dan Pasal 1863 KUH Perdata. Ketentuan dalam pasal-pasal tersebut menetapkan bawa yang diembani kewajiban untuk membuktikan adalah pihak yang mendalilkan.
Ringkas kata, setiap kritikan harus dilandasi kajian memadai hingga firm bahwa materinya benar (memiliki legitimasi).
Dan dengan ditetapkannya standard demikian ke dalam KUHAP maka menjadi mudah menerapkan sanksi hukum. Sebaliknya, tanpa adanya aturan eksplisit dalam Undang-Undang maka setiap pengenaan sanksi hukum dianggap tindakan kriminalisasi.
Bagi orang awam hukum seperti saya, rasanya bisa dilakukan, toh justru menjadi sinkron antara KUH Perdata dengan KUHAP.
Ilustrasi:
Komentar0