Dalam kasus dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), istilah ‘pakar’ sering kali kita dengar. Apakah sebenarnya arti pakar?
Pakar, menurut kamus bahasa indonesia
[1]: (orang) ahli, spesialis. Dan dalam bidang ilmu: orang yg mempunyai keahlian dlbidang ilmu tertentu, spt biologi, kimia.
Namun apa yang membuat pernyataan seorang pakar bisa dijadikan sebagai bahan bukti dalam sebuah persidangan?
Tentunya yang menjadi pertanyaan pertama adalah kepakaran seseorang itu sendiri. Bagaimana seseorang itu bisa dianggap
sebagai pakar? Jawaban pertama adalah latar belakang pendidikan sang pakar itu sendiri. Apakah dia memiliki latar belakang
pendidikan yang sesuai dengan obyek penelitian ilmiah yang sedang dikerjakan? Seorang ahli bahasa mungkin bisa dengan
mudah menjelaskan asal usul sebuah kata, namun tidaklah demikian kasusnya jika dia harus menjelaskan asal-usul sebuah
tanaman. Tentu saja ada perkecualian, sepert Michael Faraday
[2] – seorang ilmuan terkemuka yang bahkan mendapat julukan
‘Bapak Listrik’, namun tidak memiliki pendidikan resmi di bidang fisika.
Jika sang pakar tidak memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai, maka cara kedua yang bisa kita gunakan adalah
mempertimbangkan hasil kerja sang pakar tersebut.
Kata kedua yang sering digunakan dalam kasus yang sama adalah istilah ‘digital forensik’.
Apakah yang dimaksud dengan forensik?
Forensik adalah cabang ilmu pengetahuan yang digunakan untuk menyelidiki kejahatan dan memecahkan masalah hukum
dengan menggunakan metode ilmiah. Kata “forensik” berasal dari bahasa Latin “forensis,” yang berarti “debat publik” atau
“pengadilan.” Secara sederhana, ilmu forensik adalah penerapan ilmu pengetahuan untuk menjawab pertanyaan hukum yang
muncul dalam sistem peradilan.[3]
Lalu apakah digital itu? Terus terang saja, pengertian mengenai digital ini sedikit rumit. Penulis akan mengambil pengertian
digital menurut The Free Dictionary: Berkaitan dengan atau menjadi perangkat yang dapat menghasilkan, merekam,
memproses, menerima, mengirimkan, atau menampilkan informasi yang diwakili dalam bentuk diskrit numerik[4]
.
Atau dengan kalimat yang lebih sederhana, berkaitan dengan perangkat komputer.
Secara singkat, digital forensik adalah penyimpanan dan analisis data elektronik, yang terbagi menjadi dua bagian: data primer (data elektronik itu sendiri) dan data sekunder yang terkait dengan data primer tersebut, seperti jejak data (adakah perubahan
atau manipulasi terhadap data tersebut).
Kembali ke permasalahan hasil kerja sang pakar. Hasil kerja tersebut harus dilihat dari kacamata ilmiah. Dalam hal ini kita harus mempertanyakan: 1) netralitas sang pakar terhadap obyek penelitian dan 2) methodologi yang digunakan oleh sang pakar.
Pada setiap penerbitan sebuah riset ilmiah, kita akan membaca deklarasi dari periset mengenai ada tidaknya konflik kepentingan dengan pihak tertentu. Ini sangat penting, karena hanya dengan demikian kita bisa menilai apakah penelitian tersebut murni berdasarkan data-data yang diperoleh ataukah ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan pribadi/politik darisang pakar atau pihak ketiga.
Sementara itu metodologi akan sangat mempengaruhi validitas dari hasil penelitian tersebut. Kita harus mempertanyakan: latarbelakang penelitian tersebut, sumber obyek penelitian, asal sumber obyek penelitian, cara mendapatkan dan bagaimanapengelolaan/penelitian obyek penelitian tersebut.
Dalam persidangan di USA, ada kasus Daubert v. Merrell Dow Pharmaceuticals Inc., 509 U.S. 579, 595 (1993). Keputusan dari sidang tersebut lima point yang tajam bagi para hakim dalam menentukan apakah bukti yang diperoleh dari penelitian ilmiah dapat digunakan di peradilan federal. Standard tersebut selanjutnya dikenal dengan nama Daubert Standard
[5]:
1. Testing: Apakah prosedural ilmiah telah ditest secara independen? Dalam penelitian ilmiah, apakah sudah pernah ditest
diluar laboratorium? Adakah pihak ketiga yang menguji hasil penelitian itu dan menghasilkan hasil yang sama?
2. Peer Review: Apakah prosedural ilmiah tersebut telah diterbitkan atau menjadi subyek peer review?
3. Tingkat kesalahan: Adakah kesalahan yang sudah diketahui/dibuktikan atau adakah kesalahan potensial yang
diketahui/dibuktikan?
4. Standard: Adakah standard atau kontrol yang diterapkan ke metodologi penelitian ilmiah tersebut?
5. Akseptansi: Apakah penelitian tersebut telah diterima oleh kalangan ilmiah yang bersangkutan?
Kritik mengenai Daubert Standard, bagi penulis poin lima tidak relevan. Mengambil pernyataan Albert Einstein: “If I were wrong, then one [author] would have been enough!”
[6](Kalau saya salah, satu (penulis) sudah cukup)
Meskipun jika Daubert standard tersebut tidak digunakan atau diakui oleh sistem peradilan di Indonesia, kita bisa melihat bahwa tidak semua yang diatasnamakan sebagai ‘penilitian berdasarkan sains’ itu bisa diterima di kalangan ilmuan itu sendiri.
Disamping itu, kita juga bisa menggunakannya sebagai dasar dari argumentasi kita untuk menerima atau menolak pendapatseorang pakar.
Dari kedua pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan, untuk berhak menyandang gelar ‘pakar’, seseorang harus mampu membuktikan kepakarannya tersebut berdasarkan methodologi ilmiah yang disepakati dihadapan pakar-pakar atau orang-orang yang memahami dan mempunyai pengalaman dalam bidang tersebut.
Menyangkut kasus dugaan ijazah palsu Jokowi, perlulah kita pertanyakan beberapa hal, baik kepada Roy Suryo[7] maupun Rismon Sianipar Hasiholan [8] (dua orang yang sering disebut sebagai pakar dalam kasus dugaan ijazah palsu Jokowi): alasan mereka meneliti ijazah Jokowi, darimana sumber data penelitian mereka, cara perolehan data dan tehnik penelitian data tersebut, serta apakah sudah pernah diuji oleh pakar lainnya?
Alangkah baiknya untuk pembelajaran keilmuan bagi kita semua, jika Roy Suryo maupun Rismon Sianipar Hasiholan menguji hasil penelitian tersebut di media ilmiah. Pendapat penulis, youtube dan platform sosial media lainnya bukanlah tempat yang tepat untuk mempublikasikan hasil penelitian yang bersangkutan, disebabkan oleh tidak adanya regulasi dan kontrol yang bisa dipertanggungjawabkan.
Sebagai catatan terakhir: mengingat tahun kelulusan Jokowi adalah di tahun 1985, dimana penggunaan komputer Indonesia belumlah tersebar luas seperti sekarang, mengapa tidak membuka kemungkinan adanya penelitian yang lebih memfokuskan ke tehnik percetakan offset?
[1]KBBI, https://kbbi.co.id/arti-kata/pakar
[2]Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Michael_Faraday
[3]Mikrodata, “Mengenal Ilmu Forensik: Sejarah, Pengertian, dan Pentingnya dalam Kehidupan Sehari-hari”, https://www.mikrodata.co.id/mengenal-ilmu-
forensik-sejarah-pengertian-dan-pentingnya-dalam-kehidupan-sehari-hari/, 16/5/2024
[4]The Free Dictionary, https://www.thefreedictionary.com/digital
[5] Daniel B. Garrie and J. David Morrissy, “Digital Forensic Evidence in the Courtroom: Understanding Content and Quality”, 12 Nw. J. Tech. & Intell.
Prop. 121 (2014). Hal, 122-123, https://scholarlycommons.law.northwestern.edu/njtip/vol12/iss2/5
[6]The Ultimate Quotable Einstein, Princeton, N.J. : Princeton University Press, hal. 170
[7]Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Roy_Suryo
[8]Rismon Hasiholan Sianipar, https://rismonhasiholansianipar.blogspot.com/2017/09/biodata-rhsianipar.html
Ken Savitri
Foto: stotenmarkcm.com
Komentar0