Penulis:Umbul Sawunggaling
Bagi netizen yang belum sempat nonton, silakan nonton. Saya sangat
merekomendasikan.
Interpretasi saya begini :
Minimal ada 3 events yang menarik ditarik korelasinya :
1. Wisata Jokowi
2. Issue ijazah Palsu
3. Pencalonan Jokowi jadi ketum PSI.
Wisata Jokowi.
Jumlah wisatawan ke kediaman Pak Jokowi berjumlah
sekitar 250 orang per hari (Senin sd Jum'at), dan sekitar 750 orang per hari
(Sabtu-Minggu). Atau rata-rata 393 orang per hari. Atau 143.445 orang per
tahun. Kepada mereka dibagikan T Shirt.
Jika harga T-Shirt sekitar Rp. 50.000 per lembar, maka dibutuhkan dana sekitar
Rp.7 miliar lebih. setiap tahun.
Walaupun belum jelas akan berlangsung hingga kapan, namun pengeluaran sebesar
ini diprediksi akan bertambah. Logikanya ; hampir mustahil tanpa target.
Bahkan, jumlah tersebut masih bisa bertambah lagi seandaianya Pak Jokowi
memenangkan gugatan pencemaran nama baik terkait ijazah palsu.
Ini bisa jadi berpotensi men-trigger peningkatan anggota PSI.
Pasalnya, PSI identik dengan Jkw. Itu terlihat
dari cikal bakal pendiriannya.
Issue ijazah palsu.
Sebagaimana bisa kita saksikan sendiri di
berbagai media, Roy Suryo dkk mengakui bahwa sumber data uji forensik adalah
unggahan kader PSI, Dian
Sandi Utama, melalui akun X miliknya pada tanggal 1 April 2025. Dian beralasan
mengunggah foto ijazah tersebut karena tak terima banyak yang menghina Jokowi.
Rupanya Roy Suryo dkk menangkapnya dengan riang ria, bagaikan mndapatkan asupan
bergizi untuk melakukan manuver politik dengan dalih penelitian scientific.
Dalam
waktu sangat cepat, hasilnya (plus bumbu-bumbu tuduhan) disebarluaskan melalui
berbagai media, baik medsos, mainstreams maupun podcast. Viral jadinya.
Jika kelak Pak Jkw menang berperkara maka dapat
mendongkrak approval rating beliau. Dalam hal demikian maka PSI teruntungkan.
Pencalonan jadi Ketum PSI.
Sistem pencalonan Ketum PSI menggunakan pola
voting langsung (E.Vote). Ini pola pertama dalam kepartaian di Indonesia. Pola
seperti ini tentu sulit dilakukan partai manapun yang penentu arah kebijakan partai masih pemegang
saham pengendali partai yang bersangkutan. Pun sulit dilakukan buat partai yang masih
memberlakukan kontrak politik (lebih-lebih yang berbayar).
Profile PSI sebagaimana sering diungkapkan oleh Grace Natalie (a.l. di podcast
Prof Renald Kazali), bukanlah partai keluarga. Partai ini juga tidak
menggunakan fee pengawalan proyek yang dibebankan pada anggaran belanja negara.
Mereka memiliki pola pembiayaan sendiri.
Dengan lain perkataan, partai ini berpeluang besar menjadi partai identik PT
Tbk, bahkan super Tbk.
Jadi, saya yakin bahwa issue-issue tsb di atas mengandung usnur political
strategy buat mewujudkan PSI sebagai partai berprofile PT Super Tbk. Perlu digarisbawahi bahwa Pak Jkw adalah grandmaster-nya (sependapat dengan
pernyataan Bu Irma Suryani).
Dengan menjadi Super Tbk maka terbuka peluang
memunculkan kandidat kepemimpinan nasional yang terbaik dari yang baik-baik. Dan dengan demikian pula maka berpeluang besar mengawal keberlanjutan
perjuangan mewujudkan Indonesia Emas. Pak Jokowi sendiri pernah menyatakan
bahwa keberlanjutan Indonesia Emas mutlak membutuhkan Kepemimpinan Nasional
Yang Berkelanjutan (Ashley Documentari ttg : How Will Indonesia Become The Next
China). Konsekuensunya : tuduhan matahari kembar akan semakin deras. Tapi harusnya
tidak perlu didengar karena bukan sesuatu yang negatip.
Konsep Partai Tbk
memang sudah saatnya mulai dibentuk. Pasalnya, FDI yang akan dikelola Danantara
buat mengakselerasi Proyek Hilirisasi dan Ketanan Pangan segera cair. Saya
berkesempatan bergabung dengan staff supporting group penyusunan konsep
ketahanan pangan versi investor (bagian dari FDI).
Mari kita dorong agar UU Parpol diamandemen menuju Profile Partai Tbk. Dengan
konsep kepartaian seperti itu maka sistem Pemilu langsung menghasilkan pilihan
yang terbaik. Katakanlah secara personal masih menggunakan money politic, toch
kualitas ybs sudah tersaring di internal parpol berkat E.Vote system.
Sebaliknya jika tetap berjalan seperti yang ada saat ini, maka keberlanjutan
Indonesia Emas tidak meyakinkan. Bayangkan beberapa kondisi seperti ini ;
Pertama tidak ada GBHN yang mengikat komitmen bangsa
Kedua, sistem Pemilu langsung atas para paslon yang dinomiasikan berdasarkan
elektabilitas (bukan berdasarkan eligibilitas terhadap
Indonesia Emas.
Ketiga, kebebasan menetapkan
RPJP, RPJM dan RPJPd baru bagi presiden terpilih.
Ke-empat, masih maraknya pengendalian kader parpol oleh Ketum Partai, yang
ternyata berorientasi korupsi (laporan PPATK bulan lalu menunjukkan 36,67%
belanja negara dikorupsi ASN politisi).
Foto, Antara News
Komentar0