Penulis
(Ken Savitri)
Anda mestinya pernah mendengar, there’s no such a thing like bad publicity. Jika anda seorang publicist, dan anda percaya akan hal itu, maka anda dalam bisnis yang salah. Jika publicist anda mempercayai hal itu, mungkin sudah waktunya anda memperkerjakan publicist yang baru.
Publikasi, atau cara untuk mendapatkan perhatian masyarakat baik agar masyarakat menyadari keberadaan sebuah informasi, akan sangat bermanfaat jika dipergunakan dengan baik. Publikasi dapat digunakan baik untuk menanamkan kesadaran publik maupun agar publik mendukung tujuan dari penyebar informasi.
Dalam dunia politik, reputasi adalah salah satu modal yang sangat berharga. Jika reputasi seorang politisi itu jelek, maka sama seperti barang produksi, karier politisi itupun akan hancur, karena 1) tidak lagi memiliki daya jual atau elektibilitas yang kuat, dan 2) kepercayaan publik terhadap politisi tersebut berkurang atau hilang.
Dari sejarah keperpolitikan negara kita, baru kali ini kita melihat goyangan yang begitu kuat kepada seorang wakil presiden. Mengingat kedudukan seorang wakil presiden seri tidaklah begitu penting dalam sistem pemerintahan kita (dengan ketidakadaan pasal yang mengatur fungsi seorang wakil presiden di dalam UUD 1945 dan amandemennya), bahkan terkadang disebut sebagai ban serep, goyangan ini layak dikaji.
Catatan samping: istilah wapres sebagai ban serep pertama kali digunakan oleh majalah Tempo di tahun 1998, dengan terbitnya artikel, “Wapres Hanya Ban Serep Yang Tak Terpakai”. (Tempo, 2 Januari 1998[i].
Wakil Presiden saat itu adalah Jendral (kini purnawirawan) Try Sutrisno. Dalam kajian ini, penulis akan membagi serangan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka (Gibran) menjadi dua bagian: secara non-politis dan secara politis.
Termasuk non-politis diantaranya: dituduh planga-plongo (bahasa Jawa yang berarti tidak mengerti sama sekali, kurang reaksi), tidak berani berdiskusi dengan mahasiswa, dituduh sebagai pemilik akun fufufafa, tidak berkompetensi, dan yang terakhir adalah dengan memberi dislike/like pada video tayangannya di youtube.
Secara politis, serangan terhadap Gibran diantaranya: kontroversi pencalonan, dugaan tidak lulus SMA, tuduhan dinasti dan nepotisme serta yang terakhir petisi pemakzulan (impeachment) oleh Forum Purnawirawan TNI.
Penulis juga melihat adanya serangan yang merupakan gabungan keduanya, yaitu: kasus dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 Joko Widodo.
Dalam bagian pertama ini, penulis hanya akan membahas mengenai serangan secara non-politis. Mengenai tuduhan planga-plongo dan ketidakberanian Gibran untuk berdiskusi dengan para mahasiswa penulis menilai kedua hal tersebut tidak perlu dibicarakan, karena kecenderungan pembicaraan hanyalah sekedar ad hominem.[ii]
1. Polemik ‘fufufafa’
Polemik ‘fufufafa’ muncul sekitar Agustus 2024, pada masa pemilihan umum (pemilu) untuk memilih calon presiden dan calon wakil presiden. Polemik ini bisa dikatakan merupakan serangan non-politis pertama. ‘Fufufafa’ adalah sebuah akun di platform sosial-media, Kaukasus. Postingan fufufafa berisi serangan-serangan terhadap banyak kalangan termuka, diantaranya adalah Prabowo Subianto.
Banyak yang membahas mengenai fufufafa; namun bagi penulis, pernyataan Roy Suryo, yang banyak disebut sebagai ahli telematiker, perlu diberi perhatian khusus. Bukan hanya karena keterlibatan dia dalam kasus dugaan ijazah palsu Jokowi; namun juga karena keyakinannya, bahwa akun fufufafa itu 99.9% milik Gibran.
Menurut Roy Suryo,“Ada 2 cara yang bisa dilakukan, yakni pendekatan socio-technical dan pure technical. Dengan socio-technical, bisa dilakukan pengecekan, apakah bahasa atau frasa yang digunakan oleh seseorang konsisten sama atau tidak. Dan juga bisa dibandingkan dengan akun yang sudah jelas siapa pemiliknya.” [iii]
Socio-technical (system) ‘pada dasarnya adalah a study yang mempelajari bagaimana sebuah tehnologi digunakan dan diproduksi. Study ini akan membantu kita untuk mengidentifikasi kesalahan ethikal dalam aspek tehnik dan sosial di dalam sistem’ [iv]
.Penggunaan istilah tersebut agak sulit dimengerti. Karena socio-technical sama sekali tidak ada hubungannya dengan menentukan identitas seseorang di sosial media. Ada kemungkinan istilah yang Roy Suryo maksud adalah ‘linguistic fingerprinting’. Linguistic fingerprinting adalah ilmu yang mengidentifikasi pola dalam tulisan seseorang untuk menentukan penulisnya. Methode ini bergantung pada analisis statistik pengunaan kata, panjang kalimat, dan sintaks untukmenciptakan ‘sidik jari’ yang hanya dimiliki oleh penulis[v].
.Sayangnya, Roy Suryo tidak menjelaskan apa yang dia maksud dengan pure technical. Meskipun ada penolakan, baik dari Andrew Darwis (CEO Kaukasus) [vi] ataupun dari Gibran, polemik fufufafa ini terus berjalan dan menjadi kesadaran publik. Bahwa Roy Suryo tidak pernah mengajukan bukti yang dia miliki ke Bareskrim (Badan Reserse) atau ke media ilmiah tidak lagi memainkan peranan; karena polemik ini telah menjalankan perannya sebagai alatuntuk menggoyang kestabilan politik Gibran, dengan menanamkan kesadaran publik bahwa Gibran adalah fufufafa.
2. Penilaian Kompetensi
Dalam penilaian kompetensi, peran lembaga survey sangat vital. Hal ini dikarenakan: 1) posisi seorang Wapres dan 2) tidak adanya standard yang umum untuk menilai 3) jangkauan masyarakat umum mengenai keberhasilan suatu kebijakan sangat terbatas.
Wapres tidak memiliki kemampuan untuk membuat suatu kebijakan. Tugas yang diatur dalam UUD sangatlah tidak jelas, karena hanya dinyatakan ‘membantu’ presiden. Bahkan dalam hierarki perundang-undangan kita, seorang wapres tidak memiliki kewenangan untuk membuat suatu peraturan.
Standard penilaian dan tanggapan masyarakat terhadap kompetensi seorang wapres bisa kita lihat dari survei yang ada. Pada seratus hari pemerintahan Prabowo-Gibran, Gibran mendapatkan nilai yang tinggi. Litbang Kompas [vii] dan Indikator Politik [viii] memberi nilai yang tinggi 79-80% tingkat kepuasan. Sementara Celios [ix], memberi nilai yang rendah, 5/10 untuk Presiden Prabowo dan 3/10 untuk Gibran. Survei terakhir mengenai kinerja Gibran oleh Rumah Politik Indonesia (30/04/25) masih menunjukkan pola yang sama, yaitu kepuasan masyarakat di atas 70%.[x]
Perbedaan besar diantara Litbang Kompas dan Indikator Politik dengan Celios mungkin disebabkan oleh responden mereka sendiri. Responden Litbang Kompas dan Indikator Politik dipilih secara random dari kalangan masyarakat, sementara responden Celios berasal dari kalangan media. Sudut pandang kedua kelompok tersebut berbeda dan sulit untuk dibandingkan.
Kemungkinan yang lain adalah dengan melihat agenda kerja wapres dan tayangan-tayangan kegiatannya di media sosial. Namun hal ini bisa dikategorikan sebagai publikasi dari wapres itu sendiri sehingga penilaiannya tidaklah netral.
Seperti halnya dengan reaksi dislike/like di video monolog Gibran, dengan argumentasi bahwa Gibran melakukan doktorisasi terhadap video tersebut. Ketidakmengertian banyak viewers mengenai algorismus ataupun peraturan yang ada di youtube membuat debat mengenai hal ini jelas-jelas memperlihatkan perang publikasi diantara pendukung dan non-pendukung. Sangat disayangkan bahwa media yang membahas hal ini tidak melakukan due diligent, dengan meriset lebih jauh mengenai permasalahan tersebut terlebih dahulu.
Namun sepertinya, kita perlu membicarakan mengenai penyikapan media ataupun posisi mereka di dalam perang publikasi ini di lain waktu.
Ken Savitri.
Foto, Kompasiana.com
[i]https://www.tempo.co/politik/perjalanan-try-sutrisno-dari-militer-hingga-wapres-pernah-disebut-ban-serep-yang-tak-terpakai--1326
[ii]Ad hominem adalah penyerangan karakter atau pribadi lawan bicara dan bukan substansi perdebatan.
[iii]“Roy Suryo: Akun Fufufafa 99.9 persen Milik Gibran”, Republik Merdeka /RMOL.ID, 19/09/24,
https://rmol.id/politik/read/2024/09/19/637489/roy-suryo-akun-fufufafa-99-9-persen-milik-gibran
[iv]“Socio-technical System”, 22/11/22, https://www.geeksforgeeks.org/socio-technical-systems/
[v]https://ultimateforensicconsultants.com/how-to-tell-if-the-same-person-wrote-something/
[vi]https://boomnews.id/pendiri-kaskus-buka-suara-soal-akun-lawas-fufufafa-yang-viral-belum-pasti-milik-gibran-rakabuming/
[vii]https://www.kompas.com/tren/read/2025/01/24/070000265/100-hari-prabowo-gibran-tingkat-kepuasan-ke-pemerintah-tertinggi-sejak-2015
[viii]https://www.kompas.com/tren/read/2025/01/24/070000265/100-hari-prabowo-gibran-tingkat-kepuasan-ke-pemerintah-tertinggi-sejak-2015
[ix]https://celios.co.id/100-day-report-of-the-prabowo-gibran-cabinet-performance-challenges-and-expectations/
[x]https://www.suara.com/news/2025/04/30/083319/tingkat-kepuasan-publik-soal-kinerja-wapres-segini-skor-gibran-versi-
survei-rumah-politik-indonesia
Komentar0