Peringatan Kesaktian Pancasila tahun ini menyisakan pemandangan yang tidak biasa. Di hari itu, Presiden RI ke-8 tampak berjalan dengan Prabowo dan Gibran. Pemandangan ini menjadi sesuatu yang menyedot perhatian publik oleh karena relasi Megawati selaku ketua umum PDIP dengan Jokowi (kader yang sekaligus presiden ke-7) tidak baik-baik saja.
Pemandangan ini, oleh beberapa pengamat, dinilai sebagai komunikasi politik yang telah mencair. Kesediaan Megawati Hadir dan berkomunikasi dengan Prabowo , berjalan bahkan berkomunikasi dengan Gibran dipandang sebagai angin segar baru yang berhembus di tengah keriuhan atmosfir politik di negara kita.
Megawati dinilai sedang memberi ruang "kompromis" pada dinamika permasalahan hukum yang sedang "menggerogoti" partai yang dipimpinnya, yakni PDI-P. Hal ini, tentu akan ditepis oleh pihak PDI-P atau Prabowo selaku Presiden. Akan tetapi publik tetap berpikir bahwa wilayah hukum dan politik selalu menghadirkan realitas yang "abu-abu".
Selalu ada ruang "tawar" atau biasa disebut sebagai kesepakatan yang lahir dari kondisi saling membutuhkan (bargaining position). Posisi tawar ini hanya berlaku bagi mereka yang memiliki kekuasaan dan kepentingan kolaboratif dalam hal-hal seperti program (proyek) tertentu, pengesahan berbagai kebijakan, khususnya anggaran publik.
Ruang "tawar" inilah yang disebut sebagai ruang mediasi. Semua ruang menyampaikan kelemahan dan kekuatan untuk dihadirkan dalam kerja-kerja kolaboratif. Hadirnya kekuatan perwakilan di parlemen yang membutuhkan dukungan suara bagi kerja-kerja pemerintah memungkinkan praktik politik transaksional sebagai sebuah kebutuhan yang tidak dapat disingkirkan.
Karena itu, pertemuan Megawati, Prabowo, Gibran dalam momen hari peringatan kesaktian Pancasila menjadi momen untuk kita berefleksi bahwa tidak ada musuh yang abadi, sekaligus tidak ada teman yang abadi selain "kepentingan abadi".
Namun, apapun konflik politik, kesatuan sebagai bangsa dan negara perlu dikedepankan. Karena itu, pemandangan kebersamaan dari semua politisi yang berseberangan perlu banyak dihadirkan dalam suasana saling "menerima". Tanpa pemandangan seperti ini, publik akan senantiasa berpikir bangsa kita tidak baik-baik saja. Negara kita di amabang "kehancuran".
Paling tidak, peringatan kesaktian Pancasila, mengingatkan dan memperkuat jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara yang perlu dirawat bersama sekalipun dalam suasana ketegangan berpolitik.
Admin BPP
Foto: Dok Setwapres
Komentar0