Ken Savitri
Indonesia bukanlah negara pertama, dan tentunya tidak akan menjadi yang terakhir, yang merubah penulisan sejarahnya. Hal tersebut wajar saja dan bahkan harus dilakukan jika memang dianggap perlu.Namun seberapa jauh kita bisa merubah catatan sejarah tersebut?
Adanya fakta baru, interpretasi baru akan data lama, ideologi baru ataupun perubahan kekuasaan akan memungkinkan penulisan ulang sejarah.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan bahwa penulisan ulang sejarah tersebut bertujuan menghasilkan narasi sejarah nasional yang lebih inklusif an Indonesia-sentris dengan melibatkan sejarawan terkemuka, seperti Susanto Zuhdi, guru besar departemen sejarah di Universitas Indonesia, dan sekitar 120 sejarawan dari berbagai universitas di Indonesia (Akbar, 2025).
Menyadari banyaknya pelaku sejarah yang masih hidup, terutama pada periode reformasi dan pasca reformasi, akan sangat bijaksana jika pemerintah melibatkan mereka dalam penulisan tersebut. Terlebih dengan adanya konflik kepentingan antara mereka yang menginginkan Presiden RI ke-4 Suharto sebagai pahlawan nasional dan para aktivis ‘98 yang berperan dalam turunnya Suharto.
Tanpa adanya keterlibatan Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), Masyarakat sejarahwan Indonesia, ataupun Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) penulisan ulang sejarah ini dikhawatirkan akan menjadi tidak seimbang, atau bahkan menjadi semacam historical revisionism.
Kita memerlukan catatan sejarah yang jujur (berdasarkan fakta) dan menghindari adanya glorifikasi masa lalu kita demi generasi masa depan kita. Kebanggaan mereka terhadap negara kita memang perlu dipupuk, namun kita tidak memerlukan nasionalisme yang berlebihan yang justru akan merugikan kita sendiri.
Banyak contoh negara yang mengubah sejarah mereka demi rasa nasionalisme ataupun kepentingan pemerintahan waktu itu dan bahkan mereka mengancam para sejarahwan yang tidak setuju (Zeeman, 2022), yang pada akhirnya merugikan generasi muda mereka sendiri, karena di masa digital ini, sulitlah rasanya menyembunyikan informasi.
Seperti yang dikatakan oleh Hannah Arendt, “Bahkan jika kita mengakui bahwa setiap generasi memiliki hak untuk menulis sejarahnya sendiri, kita mengakui tidak lebih dari itu: ‘memiliki hak untuk mengatur ulang fakta sesuai dengan perspektifnya sendiri’; kita tidak mengakui hak untuk menyentuh materi faktual itu sendiri” (Barrett, 2015)
Referensi
2. Nawir Arsyad Akbar, “10 Jilid Penulisan
Ulang Sejarah RI, Awal Nusantara hingga Orde Baru”, Kompas, 26-05-25,
https://nasional.kompas.com/read/2025/05/26/18243901/10-jilid-penulisan-ulang-sejarah-ri-awal-nusantara-hingga-orde-baru
3. Ruben Zeeman, “Regimes Around the World are Manipulating History and Threatening Historians”, History Network News, 05-06-22
4. Hannah Arendt di Richard A. Barret, “Political Lies: Altering Facts and Rewriting History”, https://hac.bard.edu/amor-mundi/political-lies-altering-facts-and-rewriting-history-2015-02-09
Komentar0