Pangi menyatakan bahwa Geng Solo bisa saja semua orang yang ada Di Solo, tanpa bermaksud menunjuk pada sosok Jokowi yang selama ini dipersepsi sebagai "kekuatan politik Solo" atau akrap di sebut "Geng Solo".
Pernyataan Pangi ini dinilai dapat saja memicu gelombang protes oleh masyarakat Solo yang mendapatkan lebel "Geng Solo" yang akrap di telinga pendengar sebagai sebutan berkonotasi atau bermakna "negatif".
Tuduhan terhadap adanya keberadaan "Geng Solo" sebenarnya tidak "patut" untuk disamaikan karena menyangkut sebuah masyarakat dengan kultur tertentu yang bisa saja di maknai bias. Karena itu, harapannya, Pangi dan pengamat politik lainnya dapat mencari pegungkapan atau frasa yang dapat diterima dalam mengungkapkan buah pikir atau kerja analisisnya.
Selama ini publik acap kali mendengar sebutan tersebut disampaikan dalam ruang media sosial. Entah siapa kali pertama yang menggunakan atau menyematkan istilah tersebut kepada Jokowi dan pendukungnya.
Terlepas dari itu semua, sepatutnya para pengamat atau analis politik mengggunakan terminologi atau istilah-istilah yang sifatnya "berdiri di tengah". Bahasa sangat kaya dengan pengungkapan sekalipun bernada satir. Atau cukup menggunakan bahasa Indonesia yang lazim digunakan di dunia akademik. Juga dapat menggunakan gaya bahwa "sastra" yang tidak tendensius.
Dalam situasi politik yang jelas peta konfliknya, sangat gampang orang menunjuk pada Jokowi dan para pendukung sebagai bagian dari kerusuhan. Namun, jika hal tersebut dianalisis dalam keseluruhan kerja-kerja nyata dan cerdas dari Jokowi selama satu dekade, maka sulit mengabaikan bahwa Jokowi yang "bermaksud" menciptakan kerusuhan. Justru sebaliknya menata Indonesia yang rusuh, tidak berpihak secara adil kepada wong cilik.
Dengan berbekal, bukti-bukti nyata dan penerimaan kinerja Jokowi, tidak ada ruang untuk mengarahkan telunjuk pada pak Jokowi.
Komentar0