By. Alvary Exan Rerung
Polarisasi: Ketika Kita Terbelah dalam Ruang Gema
Polarisasi politik bukanlah hal baru, tetapi media sosial telah membuatnya lebih akut dan personal. Algoritma platform digital dirancang untuk menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna. Akibatnya, kita semua cenderung terjebak dalam "ruang gema" (echo chamber) di mana kita hanya melihat, mendengar, dan berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki pandangan serupa.
Dampaknya? Alih-alih mendapatkan pandangan yang seimbang, kita terus-menerus dikonfirmasi bahwa pandangan kita adalah yang paling benar. Ini menciptakan lingkungan di mana kompromi menjadi sulit dan perbedaan pendapat sering kali berujung pada permusuhan. Perdebatan politik tidak lagi tentang mencari solusi terbaik untuk bangsa, melainkan tentang mempertahankan identitas kelompok dan menyerang kelompok lawan.
Fenomena ini diperkuat oleh penyebaran disinformasi dan hoaks yang sangat cepat. Informasi palsu sering kali dirancang untuk memicu emosi dan memperkuat prasangka yang sudah ada, membuat kita semakin yakin bahwa lawan politik kita adalah "musuh" yang berbahaya.
Gimmick: Ketika Citra Lebih Penting dari Substansi
Di tengah keriuhan media sosial, para politisi dan tim kampanye menyadari satu hal: untuk menembus kebisingan, mereka harus menjadi viral. Di sinilah konten gimmick memainkan peran utama.
Gimmick politik adalah tindakan atau pernyataan yang dirancang untuk menarik perhatian dan menciptakan citra yang diinginkan, sering kali tanpa dasar kebijakan atau rekam jejak yang kuat. Kita melihat politisi yang menari, menyanyikan lagu, atau menggunakan slogan-slogan unik seperti "gemoy" dan "sat-set" yang berhasil mencuri perhatian publik. Konten semacam ini sangat efektif di platform seperti TikTok yang mengutamakan visual dan kecepatan.
Masalahnya, dominasi gimmick ini berpotensi merusak kualitas demokrasi. Alih-alih berfokus pada debat kebijakan, rekam jejak, dan visi masa depan, publik lebih disuguhkan tontonan yang menghibur. Diskusi tentang isu-isu penting seperti ekonomi, pendidikan, atau lingkungan menjadi tenggelam di bawah gelombang konten viral.
Hal ini menciptakan generasi pemilih yang mungkin memilih pemimpin berdasarkan popularitas atau citra yang menyenangkan, bukan karena kompetensi atau gagasan mereka.
Menuju Demokrasi yang Lebih Sehat
Lantas, bagaimana kita bisa mengatasi tantangan ini?
Pertama, penting bagi kita sebagai warga negara untuk menjadi konsumen informasi yang cerdas. Jangan mudah terprovokasi. Cek fakta dari sumber yang kredibel sebelum membagikan informasi. Hindari terjebak dalam ruang gema dan coba dengarkan pandangan dari pihak yang berbeda.
Kedua, kita harus menuntut lebih dari para politisi. Jangan hanya terpesona oleh gimmick. Tanyakan pertanyaan yang lebih mendalam: Apa rencana mereka untuk mengatasi masalah ini? Apa rekam jejak mereka? Apa gagasan konkret yang mereka tawarkan?
Polarisasi dan gimmick adalah dua sisi mata uang yang sama-sama menunjukkan bagaimana media sosial membentuk politik kita. Jika kita ingin demokrasi yang lebih matang, kita harus bersikap lebih kritis, menuntut lebih banyak substansi, dan mengurangi ketergantungan kita pada sensasi sesaat.
Image: Kompasiana.com
Komentar0